Selasa, 24 November 2009

Cerpen (kutipan dari koran KOMPAS)

Resensi Cerpen
Penari Hujan
Oleh NOVIANA KUSUMAWARDHANI
“Aku akan selalu ingat kamu saat hujan.”
“Kenapa?”
“Karena kita sering menari bersama hujan.”
“Hanya itu alasanmu?”
“Bukan, karena kamu perempuan hujan.”
“Maksudmu?”
“Hujan dan kamu adalah cintaku…”

Lelaki itu datang dari kabut di suatu sore yang mendung. Di antara detik suara gerimis dan leleh keringat yang bercampur dengan sengau napas yang mengeluarkan asap seperti naga yang kelelahan. Lelaki itu menyimpan mata yang aneh. Mata yang selalu murung meski urat-urat di sekitar mulutnya tertarik ke atas untuk mengukir sepenggal tawa. Mata itu membutuhkan kemampuan ekstra jenius untuk mengurai satu per satu sel-sel makna di dalamnya. Aku melihat Siwa sedang tidak menari di mata itu. Mata yang marah. Mata yang diam. Mata itu membutuhkan istirahat dari pertanyaan.

“Aku belum pernah ke tempat ini.”
“Aku juga. Eh tapi orang tua kamu tinggal di kota ini kan?”
Percakapan biasa dari sebuah pertemuan tampak biasa. Kami tidak begitu mengenal satu sama lain pada awalnya. Tapi aku merasa lelaki itu telah ada dalam tubuhku berates-ratus tahun yang lalu. Aku tahu sekali pertemuan itu akan terjadi dan entah kenapa aku percaya sejak awal bahwa dia selalu mencariku selama ini. Mata itu bicara. Mata itu merindukan kedatanganku. Mata itu tertawa memandangku.
“Kamu seperti orang patah hati deh…,”
“Memang. Kamu juga seperti orang marah…”
“Memang. Jadi kita sama-sama orang cacat neh?”
“Cacat?”
“Iya, cacat emosi.”
Hujan sering turun dalam di gelap atau di pagi dengan kabut menghebat. Kami bicara banyak dalam kata, tapi juga kami banyak bicara banyak antara mata. Kami sering tertawa melihat hujan yang menari seperti tarian Siwa. Kami melihat hujan yang riang. Hujan yang tertawa. Aku sangat suka hujan karena lelaki itu tertawa saat hujan. Kami bermain air seperti kanak-kanakyang melihat dewi rembulan. Tangan kami mengadah ke langit sambil tubuh kami berputar mengikuti irama hujan. Kami menyebutnya tarian hujan dan aku memanggil lelaki itu si penari hujan. Aku dan penari hujan pun bercinta di bawah hujan.
“Hujan itu indah.”
“Kupu-kupu juga indah, kamu tahu kan aku suka kupu-kupu?”
“Hujan itu ajaib.”
“Cinta juga ajaib.”
“Hujan itu tarian semesta.”
“Kamu hadiah semesta.”
“Aku mencintaimu…”
Cinta itu seperti hujan. Sering meruah tiba-tiba. Menyisakan warna-warna di langit bernama pelangi. Penari hujan sering menari di depan pintu menatap hujan. Bibirnya terkatup rapat. Mata kecilnya berkejap-kejap menghalau air yang mendesak keluar. Aneh, mengapa tidak ditumpahkan saja air di matanya sehingga berbaur bersama air hujan yang dicintainya itu? Mata itu ketakutan akan kesendirian. Sunyi yang mengentak dan merongga ke sudut hitam hatinya. Sunyi itu dia sebut hantu. Ah, bukankan hantu itu hanya ada di kepala Sayangku? Penari Hujan takut hantu bernama Sunyi.
“Perempuan, kamu mencintaiku?”
“Mengapa kamu tanya itu? Kita sering menari bersama hujankan?”
“Kamu mencintaiku?”
“Seperti katamu, hujan dan kamu adalah cinta.”
“Cinta… Sejatikah cintamu?”
“Pertanyaan yang aneh. Cinta sejati, cinta murni, Cinta palsu, Cinta bohong-bohongan? Apa bedanya?”
Selalu pertanyaan tentang cinta tidak pernah selesai. Semua selalu mencari dan bertanya tentang cinta sejati. Adakah cinta sejati itu? Ah, Penari Hujan cinta bagiku selalu sejati dan pertama. Karena, setiap cinta yang kubuat selalu satu-satunya dan pertama kali kuberikan ke lelaki yang kujatuhcintai. Satu cinta dan cinta lainnya tidak pernah sama. Mungkin mirip-mirip tapi tidak ada satu pun yang sama persis. Cinta yang kupunya bagiku selalu adi busana, cinta yang dibuat tangan oleh perancangnya. Bukan cinta pakaian jadi buatan pabrik konveksi. Massal dan seragam. Cinta itu selalu sejati karena tidak pernah dirancang kapan jatuhnya dan kapan hilangnya. Aku selalu merenda cintaku dengan hati dan jiwaku untuk semua lelaki yang beruntung membuatku mau merenda cinta itu. Cinta untukku selalu menyanyikan keindahan, jika ada tangis dan air mata itu hanya para ego yang terluka. Egoku selalu terluka karena sekarang aku selalu menangis.
“Kamu mau tinggal bersamaku selamanya di sini?”
“Mengapa kamu diam?”
“Aku ingin mengejar asal pelangi itu. Mau ikut?”
“Kamu tidak mencintaiku? Mengapa ingin pergi?”
“Mengejar pelangi dan cintaku tidak ada hubungannya.”
“Tapi kamu akan meninggalkanku.”
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kamu sudah ada dalam hatiku, dalam tubuhku.”
“Kamu jahat. Kamu akan pergi meninggalkanku.”
“Maksud kamu mau tubuhku selalu ada bersamamu? Mana yang kamu inginkan dariku: tubuh ini bersamamu atau hati ini bersamamu?”
“Huh, kamu lebih mencintai negeri pelangimu daripada aku.”
Lelaki itu tidak pernah tahu, aku hidup dari pecahan-pecahan puzzle mimpiku. Udara setiap pagi yang kuhirup menghembuskan satu puzzle baru yang harus kutata agar menjadi mimpi utuh. Mungkin mimpi itu tidak akan pernah menjadi kenyataan tapi dengan membuat keping-keping puzzle paling tidak aku punya semangat menyusunnya.Kamu tidak pernah mengerti di setiap kepinh puzzle itu ada kamu, Sayangku. Tidak itu cukup bagimu? Kita sudah ada sejah berates tahun lalu dan apa yang kita punya itu tidaka akan pernah hilang dan mati. Selalu ada di tempatnya. Selalu ada di sana.
“Datanglah lebaran nanti, aku ingin mengenalkanmu ke keluargaku. Aku ingin menikahimu.”
“Haruskah?”
“Bukankah kamu mencintaiku. Kamu bilang kamu mau jadi istriku. Gimana sih?”
“Aku kan sudah bilang aku ingin ke negeri pelangi dulu. Bukankah kita sudah bicarakan hal ini?”
“Aku benar-benar ingin kamu datang Lebaran nanti. Aku tunggu kamu. Ibuku sayang kamu”
“Aku juga sayang ibumu”



Lelaki itu terus menunggu. Hingga dia tahu bahwa perempuan hujannya telah pergi ke Negeri Pelangi. Saat itu juga dia berhenti menari dan membenci hujan. Setiap hujan tiba dia selalu memaki langit yang member warna nbu-abu yang pernah sangat dia suka. Air hujan membuat kaki dan tangannya membeku. Tak lagi mampu menarikan tarian semesta seperti ketika Tamino bertemu Pamina, sepasang kekasih di Magic Flute, opera terakhir Mozart. Derap kaki menari di atas bumi telah disimpannya, dengan satu warna merah di dada.

Waktu menyimpan misterinya sendiri. Waktu seperti pendulum, yang selalu kembali ketempat di mana kita mengayunkannya. Kita pun akan selalu bertemu di tempat di mana kita akan mulai

Dear Penari Hujan kekasihku…
Saat kamu membaca suratku, aku sudah tidak lagi di Negeri Pelangi. Ternyata Negeri Cahaya lebih memikatku. Negeri di mana waktu seolah berhenti berdetak. Waktu yang seperti bunyi jantung kita sendiri. Bunyi itu merenda mimpi, harapan dan juga cinta. Sungguh ,kamu mungkin tidak akan pernah mengerti aku dan mungkin tidak akan pernah mengerti selama hidupmu tentang semua mimpiku. Tetapi kekasihku kamu harus mengerti bahwa dalam setiap langkahku dan napasku selalu ada tarian-tarian hujanmu. Tarian yang berdentam denan irama terindah. Bunyi itu begitu merdu, para pemetik harpa di surge pun akan iri mendengarnya. Karena tarian hujanmu adalah gerak semesta yang berasal dari jiwamu. Kamu masih sering menari ketika hujan tiba bukan sayangku? Tarian hujan itu bukan untukku atau bukan untuk orang –orang yang kamu cintai. Tetapi tarian itu untuk dirimu sendiri. Kamu hidup dari tarian itu. Gerakkan kaki dan tanganmu lagi sayangku. Menarilah. Ikuti bunyi terindah dari hatimu. Kelak, pada satu hujan di satu senja, di mana langit begitu jingga dengan semburat keputihan, aku berjanji akan selalu datang. Jangan pernah bertanya lagi tentang cintaku. Karena cintaku itu seperti angin. Tidak ada warna dan bentuknya tetapi kamu selalu akan bias merasakannya. Jaga dirimu selalu baik-baik sayangku. Hujan selalu musik terindah dalam tarian-tarian kita. Ada pelukkan dan ciumanku dari tempat tersepi di dunia…di hatiku…
Selalu mencintaimu dengan hidupku
Perempuan Hujanmu

Surat itu diterimanya sehari setelah kelahiran anak pertamanya. Bayi perempuan yang cantik. Perempuan kecil itu lahir di sebuah hujan yang aneh di akhir bulan Juli. Hujan seperti tanpa henti. Hujan itu seperti pukulan-pukulan tabla dan sitar para pemusik Siwa ketika dia mulai menggerakkan tangan dan kakinya ke atas semesta. Lelaki sejenak ragu. Tetapi tangan dan kakinya seperti tanpa tuan terus bergerak. Tanpa peduli teriakkan istrinya dan tangis bayinya, lelaki itu berlari keluar. Ditengadahkan kedua tangannya kelangit abu-abu dengan sedikit semburat putih. Air hujan sangat deras mengguyur bumi, bau tanah kering yang meranggas begitu kental ketika air itu menyentuhnya. Petir pun berkilat seperti suara perkusi para pemusik samba seolah tertawa riang menyambut kembalinya lelaki penyuka hujan itu. Bumi pun bersorak ketika kaki lelaki itu menjejakkan kembali di atas tubuhnya dan meliukkan kembali tarian-tarian semestanya.


Sebuah sore yang indah.

Perempuan Hujanku
Terima kasih untuk suratmu. Kamu benar, tarian hujan itu adalah hidupku. Aku begitu mencintai tarian itu lebih dari apa pun di dunia ini. Ketika anak perempuanku lahir, aku melihat matanya seperti matamu. Mata uang mampu membuatku kembali menari. Aku begitu bahagia bias menari lagi. Hujan ternyata adalah diriku dan tarian adalah napasku. Perempuanku, aku akan selalu mengingat setiap langit memerah saat menjelang gelap. Senja selalu seperti bisikkanmu di saat aku begitu lelah. Aku akan selalu tahu kamu mencintaiku setiap angin menerpa wajahku. Kamu, cinta itu selalu ada di sana, bersama waktu yang melahirkannya. Perempuanku, kamu harus janji selalu bahagia ya? Sungguh, aku berjanji akan selalu menari lagi. Mencintaimu dalam diamku.
Lelaki Hujanmu


Kebahagian itu ternyata seperti sebuah ciuman. Akan begitu menyenangkan ketika kita membaginya.
Hujan dan lelaki itu adalah aku.



















Judul Cerpen : Penari Hujan
Pengarang Cerpen : Noviana Kusumawardhani
Jenis Cerpen : Fiksi
Alur Cerpen : Maju
Setting : Suasana hujan dan sunyi serta sekitar lingkungan rumah
Sudut Pandang Cerpen : Pengarang sebagai tokoh/pelaku utama
Sasaran Cerpen : Remaja/Dewasa
Tahun Terbit : Ubud, Agustus 2009
Halaman : 2 lembar (4 halaman)
Dikutip dari : Koran Kompas, Minggu,13 September 2009


Ringkasan cerita:

Cerita ini berawal dari pertemuan si pria dan wanita di mana keduanya sama-sama dalam keadaan jiwa yang penuh emosi. Si wanita berkeyakinan bahwa si pria tersebut telah ada di dalam kehidupanya sejak bertahun-tahun yang lalu, dia merasa pria tersebut telah menjadi bagian hidupnya. Mereka saling mencintai, mereka mengibaratkan cintanya dalam hujan dan tarian Siwa(tarian hujan). Si wanita selalu bermimpi tentang angan2 yang ia inginkan, salah satunya pergi ke negeri pelangi. Sampai pada saat puncaknya, si pria yang sudah mencintai si wanita mengajak si wanita ke kotanya untuk bertemu orang tuanya pada saat lebaran untuk melakukan pernikahan. Namun,seteleh ditunggu beberapa saat tidak datang tanpa ada pesan dan si pria pun kecewa. Sejak hari itu dia tak lagi mencintai hujan dan tak lagi menjadikan hujan sebagai tanda cintanya. Bahkan dia pun berhenti menjadi penari hujan. Rasa kecewanya membuatnya menjadi tidak percaya akan keindahan hujan yang dahulu mereka dambakan. Hingga pada suatu saat tiba datanglah sepucuk surat dari sang wanita pujaan hatinya. Surat itu menceritakan jawaban dari pada apa yang menjadi pertanyaan si pria selama ini. Dalam surat tersebut si wanita memberikan pengertian terhadap pria agar dia harus tetap bersemangat menjalani hidupnya dan tetap menari di waktu hujan, karena itu adalah bagian dari hidupnya. Tarian itu bukan untuk lambang cinta atau apapun, tetapi memang bagian dari dirinya. Hal itu terjadi tepat di saat istri si pria melahirkan anak perempuannya, dan di saat hujan turun. Bahkan si pria tidak mempedulikan hal tersebut, hasratnya akan kerinduan menari di saat hujan lebih besar dari pada apapun, ia pun berlari keluar rumah dan menarikan tarian hujannya. Setelah kejadian itu berlangsung si pria pun sadar bahwa ternyata tarian hujan itu bukan hanya lambang dari cintanya terhadap si wanita tetapi memeng benar-benar dari pada bagian hidupnya. Ia pun menuliskan itu semua dalam surat balasannya terhadap si wanita. Dan mereka pun memaknai cinta mereka dalam hujan yang selalu membuat mereka bahagia walaupun hanya dalam kebisuan mereka.









Kelebihan:


- Penulis menceritakan langsung pada pokok permasalahan.
- Gaya bahasa sangat baik, mampu diterima oleh pembaca.
- Cerita tidak berbelit-belit.


Kekurangan:


- Latar belakang kurang jelas.
- Penegasan terhadap tokoh kurang jelas.
- Penggunaan EYD kurang baik.
- Ada beberapa kata kiasan yang kurang dimengerti.


Amanat Pengarang: Hargailah kehidupan cintamu selama hidup di dunia.




























Sinopsis cerpen Penari Hujan


Kisah cerpen ini menceritakan tentang sepasang kekasih (pria dan wanita) yang saling mencintai. Mereka berdua melambangkan keindahan bentuk cinta mereka dalam tarian Siwa(tarian hujan), setiap hujan turun, mereka selalu merasakan bahagia. Sampai pada suatu ketika terjadi konflik, antara mereka berdua, karena keinginan wanita yang ingin menggapai mimpinya terlebih dahulu bertolak belakang dengan keinginan pria yang ingin meraih keutuhan cintanya dengan menikah. Penantian pria pun dirasakanya percuma, seluruh hatinya hancur hingga ia tak percaya lagi akan keindahan dibalik makna tarian hujan, lambang cintanya. Sampai pada suatu ketika, si wanita yang selama ini dinanti tanpa berita tersebut, mengirimkan surat, memberitahu alasan ketidak datanganya. Dalam surat tersebut ia memberikan pengertian terhadap pria, bahwa tarian hujan bukan hanya sekedar sebuah lambang cinta namun bagian hidupnya. Kisah cerita pun semakin memuncak ketika sang pria kembali menari disaat hujan turun, tepat dimana istrinya melahirkan seorang anak perempuannya. Hari itu pun ia sadar bahwa tarian hujan itu bagian dari dirinya. Ia pun memberikan surat balasan kepada wanita pujaanya tersebut. Mereka pun tetap menjaga cinta mereka dalam indahnya hujan. Walaupun hanya dalam diam, tanpa ada seorang pun yang tahu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar