Selasa, 24 November 2009

MUDIK

Ardhy Prasetyo W | 10107226 | 3ka04

BUDAYA MUDIK

Pulang kampung atau mudik, ialah salah satu budaya ataiu tradisi di akhir-akhir bulan bulan suci Ramadhan ataupun menjelang hari raya Idul Fitri atau biasa disebut hari Lebaran. Sebagian masyarakat muslim di Indonesia yang mencari nafkah di kota-kota besar seperti Jakarta DLL, biasanya bila musim mudik telah tiba akan kembali pulang ke kampung halamanya ketika bulan Ramadhan sudah hampir mendekati hari raya Lebaran atau Idul Fitri.
Mudik adalah sarana untuk dijadikan masyarakat muslim untuk bertemu orang tua, sanak-saudara yang sudah lama tidak berjumpa di daerah asalnya. Sehingga untuk pulang kampung pun masyarakat kebanyakan, biasanya mereka membeli tiket yang sudah di pesan jauh-jauh hari untuk berangkat mudik ke kampung halamanya. Mudik pun biasanya bisa melewati jalur udara (pesawat), laut (kapal penumpang), darat (mobil, motor, bus).
Mudik telah datang seiring tutup bulan Ramadhan kali ini, tidak jauh-jauh dari pemandangan sebelumnya meskipun himpitan ekonomi semakin sempit, mudik masih saja diminati para perantau. Kenapa demikian, budaya kalau boleh dibilang begitu karena ya memang dari dulu sudah seperti itu. Namun jika ditanya dalam hati para pemudik pastinya ada alasan penting selain sekadar budaya yang tercipta karena kebiasaan saja.
Mudik boleh juga diartikan secara sederhana dengan sebuah proses untuk menelusuri dan mengikatkan diri kepada akar sosial kita. Entah anda ini seorang pejabat tinggi, direktor maupun pengusaha, ketika dirantau anda tetap saja orang tidak dikenal, tetapi dikampung halaman sendiri kita dapat menghayati kembali makna kedudukan sebagai adik, paman, keponakan, saudara ataupun anak. Disitu kita dapat merasakan kembali kasih sayang tanpa pamrih, kasih sayang yang tulen bukan hanya sekedar basa-basi. Dengan tinggal beberapa saat saja di desa, kita dapat menyadari kembali makna sosial dari seorang tetangga, sahabat ataupun saudara, jadi bukan hanya sekedar sebagai orang lain yang tinggal di seberang rumah atau di samping meja kerjanya seperti yang dihayati di Kota. Di kampung halaman kita bisa mendapatkan kembali harkat dan nilai kemanusiaan kita lagi.
Ada yang menarik terlepas dari makna mudik, sebenarnya pemudik dari kota secara tidak langsung telah menjadi duta kota (penduduk local) . Duta bagi banyak produk-produk urban. Dari orang kota yang mulai phobia pada ketombe, misalnya, orang-orang kampung akan makin mengenal lebih banyak lagi merek pencuci rambut dari yang selama ini belum mereka kenal.
Orang-orang kota (perantau) secara tak sengaja akan memperkenalkannya ketika mudik. Dering ponsel dimana-mana akan mengajarkan betapa pentingnya komunikasi langsung, secara cepat dan tanpa basa-basi. Gaya hidup semisal mencuci tangan dengan cairan pembersih, pertama-tama mungkin akan mencengangkan orang desa. Tetapi tak tertutup mereka pun bisa jadi makin tak percaya pada air dari sumur mereka sendiri. Mobil-mobil dengan berbagai gaya, ukuran dan simbol juga akan membawa banyak pengertian baru bagi mereka yang jauh di pelosok; tentang arti sukses, tentang arti kerja keras, tetapi bisa pula tentang betapa telah tertinggalnya mereka.
budaya mudik itu sendiri telah menjadi rutinitas tahunan bukan sepi persoalan. Mulai dari mahalnya pengorbanan material dan psikologis yang harus dikeluarkan oleh pemudik hingga besarnya biaya yang dikeluarkan pemerintah sendiri untuk mendukung suksesnya proses mudik.
Gaji yang diperoleh para pekerja selama satu tahun bekerja di kota pun terkurangi untuk keperluan mudik biologis ke kampung halamannya. Belum lagi ditambah dengan keperluan-keperluan belanja di hari Lebaran. Realitas pencopetan dan penipuan yang dilakukan oleh para calo telah menjadi masalah tambahan yang selalu mewarnai budaya mudik Lebaran.
Namun, karena amat pentingnya makna mudik ke kampung halaman, maka apa pun risiko yang harus dihadapi para perantau yang ada di kota-kota besar, mudik Lebaran tetap menjadi suatu keharusan. Mereka rela bersusah payah hanya dengan satu tujuan untuk bertemu dan kembali menjalin hubungan emosionalitas yang sempat "terputus" dengan keluarga dan para tetangga di kampung halamannya.
Mudik, tradisi itu kembali berulang. Tradisi yang tak pernah dilewatkan oleh kaum Muslimin di Indonesia. Betapa tidak, tingginya makna silaturahim yang ingin dicapai mendorong siapa pun untuk melakukan mudik. Mudik berarti kembali ke udik atau kampung halaman. Bertemu dan berkumpul dengan sanak saudara. Mengharukan, menggembirakan, membahagiakan, sekaligus merepotkan dan melelahkan.
Budaya mudik Lebaran ini hampir bisa ditemukan di setiap kalangan, baik kalangan elite dengan memakai kendaraan pribadi hingga kalangan menengah ke bawah yang antre menunggu giliran pulang di terminal bus maupun stasiun kereta api, termasuk juga pelajar dan mahasiswa.
Bagi kalangan elite, mudik Lebaran dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai ajang bersilaturahim dengan sanak keluarga dan untuk rekreasi setelah lama bekerja. Begitu juga bagi kalangan akar rumput, tetapi dengan beberapa perbedaan tingkat kepuasan. Kalangan elite tidak perlu repot-repot antre dan bersesak-sesakan, sedangkan kalangan grass roots harus sabar menunggu giliran. Menginap di terminal atau di stasiun pun ditempuh untuk bisa mudik.
Indonesia kaya akan budaya dan keanekaragaman suku bangsa dan bahasa, namun ditengah-tengah banyaknya kekayaan budaya dan bahasa dari Indonesia terdapat satu budaya yang tidak ada di Negara-negara lainnya yaitu budaya mudik.
Mudik menjadi budaya tersendiri bagi bangsa Indonesia, tak bisa dipungkiri karena setiap tahun budaya mudik selalu ada dan akan selalu ada sampai kapanpun. Karena ditunjang juga dengan budaya rantau.
Walaupun begitu, arti dari budaya mudik itu sendiri mempunyai makna yang sangat dalam bagi para pemudik terutama jika sudah bertemu dengan orang yang dikasihi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar